Sebagai seorang imam, kesempatan untuk meneguhkan pernikahan adalah salah satu sumber sukacita terbesar dalam pelayanan saya. Dalam masyarakat saat ini, di mana seringkali segala hal dianggap bersifat sementara saja dan relativisme merajalela, menikah telah menjadi sebuah tindakan yang heroik. Dengan tindakan ini, sepasang pria dan wanita secara terbuka menyatakan bahwa kasih yang abadi adalah sesuatu yang nyata!
Namun, pada saat yang sama, kita tidak boleh lupa bahwa pernikahan bukanlah produk kepandaian manusia. Manusia tidak menciptakan pernikahan: Allahlah yang menciptakannya. Untungnya, bagian utama dari perayaan pernikahan— kesepakatan pernikahan[1]—meringkas bagi kita esensi pernikahan menurut rancangan Allah.
Saya, (nama), memilih engkau, (nama), menjadi istri/suami saya.\ Saya berjanji untuk setia mengabdikan diri kepadamu\ dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit.\ Saya mau mengasihi dan menghormati engkau sepanjang hidup saya.
—Kesepakatan Pernikahan
Apakah kamu saat ini sedang berpacaran dan mempersiapkan diri untuk menikah? Apakah kamu adalah seorang suami atau istri? Atau, apakah kamu tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang pernikahan? Jikalau kamu menjawab iya, maka artikel ini ditulis untuk kamu. Marilah kita bersama-sama mendalami makna kata-kata kesepakatan pernikahan.
1. Pernikahan: Sebuah Tindakan Bebas
Kata pertama dalam kesepakatan pernikahan adalah Saya. Sayalah yang akan menikah: bukan orang tua saya, bukan keluarga besar saya, bukan teman-teman saya … tapi diri saya sendiri.
Ini adalah penegasan yang kuat akan kebebasan manusia: sayalah yang membuat keputusan. Pernikahan adalah sebuah tindakan bebas: jika tidak ada kebebasan, tidak ada pernikahan. Saya tidak menikah karena orang tua saya menyuruh saya; karena saya menakuti penilaian negatif dari orang lain; atau karena saya sudah membayar uang muka ke wedding vendors saya! Sebaliknya, saya menikah dengan seseorang secara bebas, karena saya mau.
Three to Get Married (Catholic Insight)
Fulton J. Sheen
Buku ini mengulas esensi cinta kasih dan implikasinya bagi hidup pernikahan. Karenanya, karya ini adalah bacaan yang meneguhkan bagi pasangan yang berpacaran atau bertunangan, mereka yang sudah menikah, konselor pernikahan, dan juga para imam.
2. Pasangan: Pelayan-Pelayan Kristus
Karenanya, dalam pernikahan, ‘Saya’ ini tidak pernah sendirian. Sekarang, ‘engkau’ masuk dalam hidup saya: Saya … memilih engkau … menjadi istri/suami saya. Perkawinan adalah sebuah sakramen yang unik di antara sakramen-sakramen lainnya karena, di dalamnya, pasangan mempelai itu sendiri—bukan sang imam!—merupakan “pelayan-pelayan rahmat Kristus [yang] saling menerimakan sakramen Perkawinan dengan menyatakan kesepakatan mereka di hadapan Gereja.”[2] Kesepakatan inilah yang membuat pernikahan terjadi.[3]
Selain itu, perlu diperhatikan bahwa ‘engkau’ di sini ada dalam bentuk tunggal—‘te,’ dalam bahasa Latin, bahasa aslinya. Kata ini menegaskan salah satu sifat hakiki dari pernikahan, yakni kesatuan. Pernikahan hanya bisa terjadi antara satu pria dansatu wanita. Kombinasi lainnya bukanlah pernikahan sama sekali; misalnya, tidak ada pernikahan sejati antara satu pria dan dua wanita (atau lebih); antara satu wanita dan dua pria (atau lebih); antara satu pria dengan pria lain; ataupun antara seorang wanita dengan wanita lain. Pernikahan, menurut rencana Allah pada mulanya, adalah ikatan antara satu pria dan satu wanita.[4] Pernikahan—sekali lagi—bukanlah produk kepandaian manusia, namun rancangan Allah sendiri.
3. Pernikahan: Satu, Tak Terpisahkan, dan Terbuka kepada Kehidupan
Ungkapan berikutnya adalah menjadi istri saya … menjadi suami saya. Sesuatu yang luar biasa dan misterius biasanya memiliki lebih dari satu nama. Mengapa? Karena tak ada satu nama pun yang dapat mengungkapkan realitasnya secara menyeluruh. Ekaristi adalah sebuah contoh yang baik: setidaknya, ada sembilan nama untuk Ekaristi yang dijabarkan dalam Katekismus![5]
Hal yang serupa terjadi dengan pernikahan. Setidaknya ada empat nama dalam bahasa Latin—ibu dari beberapa bahasa utama di Eropa—yang mengungkapkan misteri pernikahan. Mari kita bahas nama-nama tersebut secara singkat.
Nuptiae
Nama pertama adalah nuptiae (Lt. nubere, menyelubungi). Dari kata ini, kita memperoleh kata nuptials dalam bahasa Inggris. Arti dari kata benda nuptus dalam bahasa Latin adalah ‘penutup’ atau ‘kerudung.’ Pada kenyataannya, ini adalah sebuah sinekdoke—mengambil sebuah bagian dari suatu hal untuk mewakili keseluruhannya (misalnya, ketika saya mengatakan “Saya tidak pernah melihat batang hidungnya,” saya sebenarnya bermaksud mengatakan “Saya tidak pernah melihat dirinya”). Karenanya, penyelubungan mempelai wanita dalam perayaan pernikahan melambangkan selubung yang menutupi misteri pernikahan.
Penggunaan kerudung dalam pernikahan sudah dilakukan setidaknya sejak zaman Yunani-Romawi. Dalam konteks keagamaan, kerudung melambangkan kesederhanaan dan ketaatan di hadapan Allah serta kemurnian hidup.
Matrimonium
Nama yang kedua adalah matrimonium, sebuah kata yang merupakan gabungan dari matris dan munia (yang berarti ‘tanggung jawab seorang ibu’). Ini juga merupakan sebuah sinekdoke. Dengan nama ini, pernikahan dilambangkan oleh tanggung jawab sang ibu. Oleh sebab itu, kata matrimonium merujuk pada tujuan prokreatif dari pernikahan. Dengan kata lain, pasangan suami istri dipanggil untuk terbuka kepada kehidupan.
Keterbukaan kepada kehidupan menuntut pertentangan yang tegas terhadap penggunaan kontrasepsi. Jangan lupa: Gereja bukan seorang polisi. Alih-alih, ia adalah seorang Bunda yang bijaksana. Ketika ia melarang sesuatu, ia melakukannya karena hal tersebut bertentangan dengan apa yang baik untuk kamu!
Gereja memperingati kamu, “Jangan gunakan kontrasepsi,” karena, di satu sisi, kontrasepsi merusak pernikahan dengan memisahkan tujuan kesatuan dan tujuan prokreatif yang—menurut rencana awal Allah—membentuk satu-kesatuan dalam pernikahan. Tidak ada keterpisahan antara “beranakcuculah dan bertambah banyak” (Kej 1:28) dan “keduanya menjadi satu daging” (Kej 2:24). Sebaliknya, ia yang menggunakan kontrasepsi menginginkan hanya seks (tujuan kesatuan), tetapi tidak menginginkan anak (tujuan prokreatif).
Kontrasepsi, di sisi lain, menghancurkan cinta kasih pernikahan karena, ketika digunakan, seseorang tidak lagi bisa mengatakan bahwa ia memberikan dirinya sepenuhnya kepada pasangannya. Mengapa? Karena ia setidaknya menolak untuk mempersembahkan kesuburannya kepada suami atau istrinya!
Singkat kata, kontrasepsi dan pemberian diri yang total adalah dua hal yang saling bertentangan.
Consortium
Nama ketiga adalah consortium, yang adalah gabungan dari kata-kata con (bersama dengan) dan sors (nasib). Nama ini menunjukkan bahwa, selain tujuan prokreatif, pernikahan memiliki tujuan kesatuan, yakni, kesejahteraan pasangan suami istri. Mereka telah berjanji untuk hidup dalam persatuan satu dengan yang lain sembari masing-masing dari mereka mengucapkan: Saya berjanji untuk setia mengabdikan diri kepadamu … . Consortium juga menggarisbawahi bahwa pernikahan adalah sebuah ikatan yang tak terpisahkan: saya ingin setia kepada engkau demi mengasihi dan menghormati engkau sepanjang hidup saya.
Conjugum
Nama keempat adalah conjugum, yang adalah kombinasi con (bersama dengan) dan jugum (kuk). Nama ini menunjukkan bahwa pasangan suami istri dituntut untuk memikul kuk yang sama. Bagi mereka, kuk melambangkan semua pertentangan dalam hidup yang harus mereka hadapi: untung dan malang, … sehat dan sakit.
Mereka yang akrab dengan dunia pertanian pasti tahu bahwa kuk biasanya diemban oleh dua binatang. Namun, tidak seperti binatang-binatang itu, pasangan suami istri tidak memikul kuk hanya dengan kekuatan mereka sendiri. Kristus membantu mereka. Ia ikut memikul kuk bersama dengan mereka. Itulah sebabnya Fulton Sheen menegaskan bahwa dibutuhkan tiga untuk menikah: Allah + seorang pria + seorang wanita.
Dibutuhkan tiga untuk membuat Kasih di Surga\ —Bapa, Putra, dan Roh Kudus.
Dibutuhkan tiga agar Surga bisa mengasihi bumi\ —Allah, Manusia, dan Maria—karena melaluinya Allah menjadi Manusia.
Dibutuhkan tiga untuk membuat kasih dalam Keluarga Kudus\ —Maria, dan Yusuf, dan kesempurnaan kasih mereka, Yesus.
Dibutuhkan tiga untuk membuat kasih dalam hati\ —Ia yang mengasihi, sang Kekasih, dan Kasih.
Kepada Wanita\ yang mengajarkan misteri Kasih yang agung,\ Maria yang Tak Bernoda,\ Buku ini dipersembahkan.
Agar segala bangsa, hati, dan rumah tangga mengerti\ Bahwa kasih bukanlah pertama-tama pemberian diri kepada yang lain\ Namun pemberian diri dua orang yang saling mencintai kepada Sang Kasih yang Abadi,\ Yakni Allah.
—Fulton J. Sheen, Three to Get Married (1951), Prologue
“Kesepakatan perkawinan adalah tindakan kehendak dengan- nya seorang laki-laki dan seorang perempuan saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali” (c. 1057 §2).
Lih. Kitab Hukum Kanonik, c. 1057 §1.
Lih. Kej 2:24: “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.”
Lih. KGK, 1328 dst.