Menaruh Kandang Natal di rumah kita membantu kita untuk menghidupkan kembali apa yang terjadi di Betlehem. Tentunya Injil tetap menjadi sumber pemahaman dan renungan kita akan peristiwa itu. Pada saat yang sama, representasinya dalam Kandang Natal membantu kita untuk membayangkan kejadian tersebut. Kandang Natal menyentuh hati kita dan membuat kita masuk ke dalam sejarah keselamatan sebagai saksi dari sebuah peristiwa yang hidup dan nyata dalam keberagaman konteks sejarah dan budaya.
—Paus Fransiskus, Admirabile signum, §3
Natal adalah momen tahunan yang paling membahagiakan bagi banyak orang. Tak terhitung jumlah kenangan indah masa kecil saya yang terkait dengan Natal. Saya sangat ingat perjalanan-perjalanan keluarga kami selama liburan Natal. Menghias pohon Natal juga merupakan kegiatan yang membawa sukacita.
Kenangan penting saya yang lain berkaitan dengan Kandang Natal pertama yang dibeli orang tua saya untuk rumah kami. Liburan dan pohon Natal sangatlah indah, namun saya belum menemukan tradisi Natal lain yang memusatkan hati kita pada misteri Allah-yang-menjadi-manusia lebih baik daripada Kandang Natal. Dengan merenungkan karakter-karakter dalam Kandang Natal, kita akan lebih memahami dan menghargai makna Natal.
Daftar Isi
1. Gembala dan Orang Majus
Maka masuklah [orang-orang majus] ke dalam rumah itu dan melihat Anak itu bersama Maria, ibu-Nya, lalu sujud menyembah Dia. Mereka pun membuka tempat harta bendanya dan mempersembahkan persembahan kepada-Nya, yaitu emas, kemenyan dan mur.
—Matius 2:11
Lalu [para gembala] cepat-cepat berangkat dan menjumpai Maria dan Yusuf dan bayi itu, yang sedang berbaring di dalam palungan. Dan ketika mereka melihat-Nya, mereka memberitahukan apa yang telah dikatakan kepada mereka tentang Anak itu.
—Lukas 2:16–17
Mari kita mulai kunjungan kita dengan mengamati para gembala dan orang majus. Pertanyaan kita yang pertama adalah: mengapa mereka ada di Kandang Natal?
Dalam salah satu khotbahnya, Fulton Sheen mengatakan bahwa gembala adalah mereka yang tahu bahwa mereka tidak tahu apa-apa. Tidak jauh berbeda, orang majus adalah mereka yang tahu bahwa mereka tidak tahu segalanya.
Sebaliknya, kita tidak menemukan orang yang merasa dirinya tahu segalanya di Kandang Natal. Hanya mereka yang rendah hati yang ada di sana. Kerendahan hati: itulah yang harus kita pelajari dari para gembala dan orang majus. Itulah "tiket masuk" mereka ke tempat kelahiran Yesus. Itulah juga yang diminta kepada kita jika ingin menghampiri-Nya.
Suatu hari di tahun 2019, saya duduk di dalam sebuah bus. Saya sangat senang ketika mendengar pemandu wisata kami berkata: “Selamat datang di Betlehem!” Tujuan utama kami di sana bukan lain adalah gereja Basilika Kelahiran Tuhan.
Hal pertama yang mengejutkan saya mengenai Basilika ini adalah betapa rendahnya pintu masuknya. Dahulu kala, tingginya mencapai 5,5 meter. Namun, pada zaman Kekaisaran Ottoman, tingginya dikurangi menjadi sekitar 1,2 meter saja demi menghalangi mereka yang berusaha masuk dengan menunggangi kuda. Jadi, jika tinggi Anda melebihi 1,2 meter, Anda harus menundukkan kepala untuk memasuki tempat suci ini.
Itulah yang diajarkan Betlehem kepada kita: untuk mengenal siapa bayi Yesus, kita harus menunduk. Kita harus turun dari "kuda" kesombongan kita. Untuk menghampiri tempat kelahiran-Nya, kita harus rendah hati.
2. Lembu dan Keledai
Tradisi menata Kandang Natal berakar pada Misa Natal yang dirayakan oleh St. Fransiskus dari Asisi dalam sebuah gua di Greccio, Italia, pada tahun 1223. Uniknya, sebelum Misa, sang santo mengarahkan agar seekor lembu dan seekor keledai diletakkan di sana.[1] Kedua hewan ini juga disebut dalam banyak lagu Natal (misalnya, “Good Christian Men Rejoice,” “What Child is This,” “The Little Drummer Boy”).
Pertanyaannya adalah: mengapa lembu dan keledai? Apa hubungan mereka dengan kelahiran Kristus? Di mana Alkitab menyebut mereka?
Kita bisa menemukan rujukan kepada kedua hewan ini dalam Kitab Yesaya. Di awal kitab ini, sang Nabi membandingkan kejahatan dan ketidaktaatan Yehuda dengan pemahaman para binatang:
Lembu mengenal pemiliknya, tetapi Israel tidak; keledai mengenal palungan yang disediakan tuannya, tetapi umat-Ku tidak memahaminya.
—Yesaya 1:3
Dengan kata lain, Yesus lahir di antara kejahatan dan ketidaktaatan manusia.
Apakah kita sudah mengenal Yesus seperti lembu mengenal pemiliknya? Atau, setidaknya, apakah kita berusaha untuk mengenalDia lebih baik? Jika kita mengakui-Nya sebagai Tuhan kita, ada tempat bagi kita dekat palungan-Nya.
3. Maria dan Yusuf
Ketika [Yusuf dan Maria] di situ tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin, dan ia melahirkan seorang anak laki-laki … .
—Lukas 2:6–7
Di dekat bayi Yesus ada Maria dan Yusuf, yang dengan khidmat memandang Allah-yang-menjadi-manusia. Kata-kata tidak mampu mengungkapkan apa yang ada di hadapan mereka. Mereka berdua tampak diam dalam keheningan. Paus Fransiskus mengatakan bahwa
kelahiran seorang anak membangkitkan kegembiraan dan rasa kagum; kelahiran seorang anak menempatkan misteri kehidupan yang agung di hadapan kita. Melihat mata yang cerah dari sebuah pasangan muda yang menatap anak mereka yang baru lahir, kita dapat memahami perasaan Maria dan Yusuf yang merasakan kehadiran Allah dalam hidup mereka ketika mereka memandang bayi Yesus.
—Paus Fransiskus, Admirabile signum, §8
Maria dan Yusuf jarang bersuara dalam Injil. Maria mengucapkan hanya enam kalimat ditambah satu kidung. Ia lebih memilih untuk "menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya" (Lk 2:19). Bagaimana dengan Yusuf? Dia bahkan tidak mengatakan sepatah kata pun dalam Kitab Suci! Ia lebih merupakan seorang pekerja yang tanggap dalam melaksanakan kehendak Allah.
Keheningan. Dalam dunia yang bising ini, keheningan telah menjadi sesuatu yang langka, sebuah seni yang hampir punah.
Namun, keheningan memiliki nilai yang tak terhingga. Keheningan menunjukkan keterbukaan dan kesiapan untuk mendengarkan. Masyarakat dan keluarga kita akan menjadi tempat yang jauh lebih baik jika kita saling mendengarkan dengan penuh perhatian (ya … singkirkan smartphone-mu sejenak). Keheningan kita adalah tanda bahwa kita menganggap orang lain penting.
Di dunia yang acuh tak acuh dan dangkal ini, kita dapat belajar hening, merenung, dan mendengarkan orang lain dari Maria dan Yusuf.
4. Bala Tentara Malaikat
Sejumlah besar malaikat menampakkan diri kepada para gembala. Kata Yunani untuk ‘bala tentara’ adalah stratias—ingat kata ‘strategi.’ Kita membaca bahwa
tiba-tiba tampaklah bersama-sama dengan malaikat itu sejumlah besar bala tentara sorga yang memuji Allah, katanya: "Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya."
—Lukas 2:13–14
Para malaikat menampilkan kekuatan Allah. Ia berkuasa sedemikian rupa sehingga Ia dapat memanfaatkan kejahatan manusia sebagai kesempatan untuk mendatangkan kebaikan.
Untuk menjaga ketertiban dalam kekaisarannya, Kaisar Romawi Adrianus (memerintah 117–138 M) berusaha menghapus ingatan akan tempat-tempat suci dari benak umat kristiani. Pada tahun 135 M, ia mengubah tempat kelahiran Yesus di Betlehem menjadi hutan suci untuk penyembahan Adonis, dewa keindahan dan hasrat. Dengan membangun kuil kafir di sana, dia berharap untuk membuat orang-orang kristiani lupa di mana Yesus dilahirkan.
Namun, harapannya tidak terwujud. Nyatanya, yang terjadi adalah justru sebaliknya: orang-orang kristiani semakin ingat akan tempat kelahiran Yesus! Ketika orang-orang kristiani diminta untuk menunjukkan di mana Yesus lahir, mereka cukup mengatakan: “Di sana, di tempat di mana hutan suci Adonis berada.” Di tempat itulah Kaisar kristiani Konstantinus (memerintah 306–337 M) membangun Basilika Kelahiran Tuhan yang didedikasikan pada tahun 339 M.
Lihat? Allah memanfaatkan kejahatan untuk mendatangkan kebaikan.
5. Bayi Yesus
[Maria] melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan.
—Lukas 2:7
Akhirnya, Kandang Natal kita menjadi hidup ketika kita membaringkan bayi Yesus di palungan. Ada dua hal penting yang bisa kita renungkan mengenai tokoh utama kita ini.
Hal pertama yang kita sadari adalah Yesus datang ke dunia dalam keheningan dan kerendahan hati: Ia datang sebagai bayi yang lemah dan bergantung pada orang lain. Ia bisa saja memilih untuk datang sebagai orang dewasa yang mandiri, tapi Ia tidak melakukannya. Mengapa? Karena Ia ingin menunjukkan dengan jelas kepada kita bahwa Ia adalah sungguh Allah dan sungguh Manusia: Ia “turut merasakan kelemahan-kelemahan kita,” karena “sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa” (Ibr 4:15). Selain itu, kelemahan-Nya memiliki tujuan strategis, seperti yang dijelaskan oleh Joseph Ratzinger: “Allah datang tanpa senjata, karena dia tidak ingin menaklukkan dari luar. Sebaliknya, Ia ingin memenangkan kita dari dalam dan mengubah diri kita dari dalam.”[2] St. Thomas Aquinas mengatakan hal serupa:
Apabila Kristus berkenan dilahirkan dari seorang perawan, mengapa Ia ingin agar ibu-Nya bersuami? … [Hal itu bertujuan] agar kelahiran-Nya tersembunyi dari iblis, supaya jangan sampai, jika dia tahu, dia menghalangi Sengsara-Nya dan buah penebusan kita.
—St. Thomas Aquinas, Commentary on the Gospel of St. Matthew, in loc. Mt 1:12–21
Hal kedua yang kita amati adalah bayi Yesus dibaringkan “di dalam palungan” (Luk 2:7). St. Agustinus menjelaskan: “Terbaring di dalam palungan, Ia menjadi santapan kita.”[3] Yesus membiarkan diri-Nya disantap oleh kita. Bahkan, Ia lahir di Betlehem, yang dalam bahasa Ibrani berarti ”Rumah Roti.” Sekarang, dalam Ekaristi, Ia menjadi Roti Hidup bagi kita.
Sembari kita merenungkan Yesus yang memberikan diri-Nya sebagai makanan bagi kita, sosok Yusuf menjadi menonjol. Kunci pintu tabernakel di beberapa kapel dan gereja terkait dengan sebuah medali dengan ukiran kata-kata berikut: “Ite ad Joseph”—“Pergilah kepada Yusuf”—(Kej 41:55).[4] Kalimat ini, yang sebenarnya merujuk pada Yusuf putra Yakub, secara populer diaplikasikan kepada Yusuf suami Maria. Seperti Yusuf dalam Perjanjian Lama yang memberi makan seluruh bangsa Israel, Yusuf dalam Perjanjian Baru juga memberi kita makan. Namun, ia menyuguhi kita bukan dengan biji-biji gandum yang dipakai untuk membuat roti biasa (Kej 42-44), alih-alih dengan Roti Hidup yang adalah Yesus sendiri (Yoh 6:35).
Lih. Ratzinger, The Blessing of Christmas, 77.
Ratzinger, The Blessing of Christmas, 75–76.
St. Augustine, Sermon, 189, 4.
“Ketika seluruh negeri Mesir menderita kelaparan, dan rakyat berteriak meminta roti kepada Firaun, berkatalah Firaun kepada semua orang Mesir: ‘Pergilah kepada Yusuf, perbuatlah apa yang akan dikatakannya kepadamu’” (Kej 41:55).