1. Keanekaragaman bahasa: kutukan—seperti dalam kejadian "Menara Babel"—atau karunia Roh Kudus?
Sebelum kita membahas kisah "Menara Babel" (Kej 11:1–9), kita perlu mengingat kembali genre khusus dari Kejadian 1–11, bagian yang dikenal dengan nama "sejarah purba." Bab-bab pertama Kitab Suci ini mengisahkan peristiwa yang sungguh terjadi dalam sejarah dengan menggunakan bahasa kiasan.
Peristiwa apa yang diceritakan dalam Kejadian 11:1–9? Bagian ini menceritakan perpecahan umat manusia yang merupakan akibat dari kesombongan dan dosa mereka. Mereka ingin menjadi terkenal. Mereka menolak untuk bergantung pada Allah. Itulah sebabnya Allah "turun dan mengacaubalaukan di sana bahasa mereka, sehingga mereka tidak mengerti lagi bahasa masing-masing" (Kej 11:7). Menariknya, kata Ibrani babel terkait dengan kata Ibrani balbalah, “kebingungan.” Di sinilah kita dapat menyimpulkan bahwa keanekaragaman bahasa bukanlah hal yang buruk meskipun dalam Kejadian 11:1–9 keanekaragaman tersebut merupakan tanda perpecahan dan ketidakpahaman di antara manusia.
Kisah "Menara Babel" (Kej 11:1–9) erat kaitannya dengan perikop berikutnya, yaitu panggilan Abram (Kej 12). Scott Hahn menyatakan bahwa, "baik secara historis maupun literal, kisah Babel mempersiapkan panggilan Abraham. Melalui Abraham, Allah akan mengumpulkan kembali umat manusia yang terpecah-belah ke dalam keluarga Allah yang satu."[1]
Oleh karena itu, Babel bertentangan dengan Yerusalem. Para nabi menubuatkan bahwa semua bangsa akan berkumpul di Yerusalem (lih. Yes 2:2–3). Nubuat ini menjadi kenyataan di Yerusalem baru, Gereja Katolik, di mana orang-orang dari semua ras dan bahasa berkumpul dalam iman dan cinta kasih, seperti yang dapat dilihat pada peristiwa Pentakosta (lih. Kis 2:1–13). Meskipun orang-orang yang berkumpul di Yerusalem pada waktu itu berbicara bahasa yang berbeda, mereka dapat saling memahami. Roh Kudus menyingkirkan perpecahan dan ketidakpahaman di antara mereka.
2. Apa itu karunia bahasa roh?
Karunia bahasa roh adalah "karunia karismatik yang memungkinkan orang percaya untuk berbicara kepada Allah dalam bahasa selain bahasanya sendiri."[2] Dalam Kisah Para Rasul, karunia bahasa roh dikaitkan dengan turunnya Roh Kudus (lih. Kis 10 :44–46; 19:6). Pada Pentakosta pertama, para rasul yang menerima karunia ini mulai berkhotbah dalam berbagai bahasa dan dialek (lih. Kis 2:4–11). Dalam arti yang lebih dalam, karunia bahasa roh menandakan bahwa Injil harus diberitakan kepada semua bangsa (lih. Mrk 16:15–17).
Saya yakin kalian ingin mendengar lebih banyak: bagaimana dengan komunitas kristiani zaman ini yang anggotanya mengaku mampu berbahasa roh?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita dapat membuka 1 Korintus 14:1–25. Dari perikop ini, kita dapat memperoleh beberapa prinsip:
- Berbicara dalam bahasa roh adalah berbicara "kepada Allah", bukan kepada orang lain (1Kor 14:2).
- Berbahasa roh adalah "mengucapkan hal-hal yang rahasia" (1Kor 14:2).
- Mereka yang berbahasa roh "membangun dirinya sendiri," bukan gereja (1Kor 14:4).
- Bahasa roh seharusnya tidak diucapkan dalam konteks ibadah publik "kecuali kalau orang itu juga menafsirkannya" dan menjelaskan arti kata-kata itu kepada jemaat (1Kor 14:5). Paulus mengingatkan: "jika kamu tidak mempergunakan kata-kata yang jelas, bagaimanakah orang dapat mengerti apa yang kamu katakan? Kata-katamu sia-sia saja kamu ucapkan di udara!" (1Kor 14:9–12).
3. Mengapa penting bagi umat Katolik Indonesia, terutama kaum muda, untuk belajar bahasa asing?
- 'Katolik' berarti 'universal.' Belajar sebuah bahasa bukan hanya sekadar mengeluarkan bunyi-bunyi yang baru. Belajar bahasa berarti berjumpa dengan budaya baru. Setiap bahasa mengandung budaya bangsa yang menggunakan bahasa tersebut. Oleh karena itu, bahasa asing adalah jendela di mana kalian dapat mengintip budaya lain dan dengan demikian memahami universalitas Gereja.
- "Traduttore, traditore." Karya-karya yang tak terhitung jumlahnya mengenai iman Katolik belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Meskipun beberapa dari mereka sudah diterjemahkan, akan lebih baik bagi kita untuk membacanya dalam bahasa aslinya. Mengapa? Karena terjemahan tidak akan pernah bisa mencerminkan segala nuansa bahasa aslinya.
- Satu bahasa asing membawa kita ke bahasa yang lain. Setelah kalian menguasai bahasa asing pertama, pikiran kalian lebih dikondisikan untuk mempelajari bahasa baru lainnya. Selain itu, bahasa dapat dikelompokkan ke dalam keluarga. Penguasaan sebuah bahasa asing akan memudahkan pembelajaran bahasa asing lain dalam keluarga yang sama.
- Semakin tua kalian, semakin sulit bagi kalian untuk belajar bahasa baru (atau keterampilan lainnya).
- Mempelajari bahasa baru akan memperdalam pengetahuan kalian tentang bahasa ibu kalian.
4. Seseorang mengatakan kepada saya: "Berdoa saja dalam bahasa Indonesia. Allah mendengarkan doamu. Mengapa repot-repot berdoa dalam bahasa lain?" Bagaimana saya harus bereaksi?
Pertama-tama, yakinkan orang itu bahwa dia benar. Kalian dapat berdoa dalam bahasa apa pun. Allah mengerti segala bahasa.
Kedua, dalam hal doa mental, kalian harus berdoa dalam bahasa yang paling kalian kuasai. Ingatlah bahwa berdoa adalah berbicara dengan Allah. Bagaimana kalian bisa berbicara dengan seseorang dalam bahasa yang tidak kalian kuasai?
Ketiga, ketika mendaraskan doa vokal dalam bahasa yang tidak kalian kenal (misalnya, Latin), penting bagi kalian untuk setidaknya memahami arti kata-katanya.
5. Apa yang bisa kita lakukan agar ada lebih banyak poliglot?
Pertama, buatlah agar pembelajaran bahasa dapat diakses dengan mudah dan menyenangkan. Mengapa tidak mengorganisir klub bahasa di paroki, universitas, atau tempat kerja kalian? Kedua dan yang lebih penting, masuklah ke dalam lingkungan di mana bahasa tersebut digunakan. Bepergianlah ke luar negeri. Tinggallah beberapa bulan di negara asing, jika memungkinkan.
6. Apakah nyanyian Gregorian dan bahasa Latin masih relevan untuk kaum muda?
Ingatlah bahwa bahasa Latin bukanlah bahasa resmi Gereja dari sediakala. Para rasul kemungkinan besar tidak berbicara bahasa Latin dengan lancar. Mereka pastinya berbicara bahasa Aram dan, pada tingkat yang berbeda, bahasa Yunani.
Oleh karena itu, nyanyian Gregorian relevan bagi kaum muda bukan hanya karena nyanyian tersebut berada dalam bahasa Latin, tetapi karena nyanyian-nyanyian tersebut menyampaikan pemahaman bahwa kita adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar: Gereja universal.
7. Bahasa apa yang Anda kuasai?
Saya fasih berbicara empat bahasa (Inggris, Bahasa, Spanyol, dan Italia) dan secara pasif menguasai dua bahasa lainnya (Latin dan Prancis). Saya berbicara bahasa Mandarin dasar dan ingin menguasainya dengan baik. Saya juga telah mempelajari bahasa Yunani dan Ibrani, tetapi saya tidak terlalu mengingatnya. Saya mulai belajar bahasa Jerman awal tahun ini. Namun, saya harus mengesampingkannya karena saya perlu fokus pada tugas akademik lainnya. Saya akan kembali mempelajari bahasa Jerman sesegera mungkin!
8. Mengapa Anda tertarik mempelajari bahasa baru?
Saya cukup pragmatis dalam hal mempelajari bahasa baru: saya mempelajari bahasa baru karena saya membutuhkannya.
9. Bagaimana Anda mulai belajar bahasa baru?
Berbicara dari pengalaman, ada empat langkah dalam mempelajari bahasa baru: membaca, mendengarkan, berbicara, dan menulis. Pertama, saya mencoba memahami apa yang saya baca. Ini memerlukan penguasaan tata bahasa dan penggunaan kamus. Kedua, saya mendengarkan bahasa tersebut sebanyak mungkin. Kalian dapat menggunakan podcast dan video-video di YouTube untuk tujuan ini. Salah satu keterampilan yang paling penting untuk mempelajari bahasa baru adalah mendengarkan. Seseorang mengatakan kepada saya bahwa saya memiliki bakat untuk belajar bahasa baru karena saya seorang musisi. Memang, musisi memahami suara orang lain tidak. Ketiga, saya belajar menyuarakan bahasa tersebut. Terakhir, saya belajar menulis dalam bahasa tersebut, yang merupakan langkah tersulit dari semuanya. Itu sebabnya saya menulis karya akademis dan tesis saya hanya dalam bahasa Inggris, yang merupakan bahasa yang paling saya kuasai.
10. Apa kesenangan dan tantangan dalam belajar bahasa?
Kegembiraan terbesar yang datang dari belajar bahasa adalah kesempatan untuk berteman dengan orang-orang dari negara lain. Sebagai seorang akademisi, membaca teks dalam bahasa aslinya juga sangatlah memuaskan. Saya tidak perlu menghabiskan ribuan dolar untuk edisi bahasa Inggris terbaru dari karya Thomas Aquinas karena saya dapat membacanya dalam bahasa Latin dan teks Latin tersedia secara gratis di internet!
Tentu saja ada tantangan. Salah satu hal yang mengecilkan hati adalah menyadari betapa mudahnya kita melupakan bahasa yang tidak kita gunakan. Tantangan lain dalam mempelajari bahasa baru berkaitan dengan disiplin. Lalu, sulit juga untuk menguasai bahasa di tempat di mana bahas tersebut tidak umum digunakan.
11. Bagaimana kita bisa bertahan lebih baik dalam pembelajaran bahasa?
Untuk bisa bertahan, kalian harus mengklarifikasi mengapa kalian belajar bahasa tertentu. Jika alasan kalian tidak jelas, kemungkinan besar kalian tidak akan bertahan. Itulah mengapa cara terbaik untuk mempelajari bahasa baru adalah dengan membenamkan diri dalam lingkungan di mana bahasa tersebut digunakan. Dengan begitu, pembelajaran bahasa menjadi syarat untuk bertahan hidup. Karena kelangsungan hidup diri sendiri adalah salah satu naluri paling mendasar dalam manusia, ada kemungkinan lebih besar bahwa kalian akan bertahan dan bahkan mencapai tingkat penguasaan bahasa yang tinggi.
12. Bagaimana kita dapat bertumbuh dalam kekudusan melalui pembelajaran bahasa? Apakah ada orang suci yang merupakan poliglot?
Semua kegiatan manusia yang mulia adalah sarana pengudusan. Sama seperti seseorang dapat bertumbuh dalam kekudusan dengan bekerja di kantor atau mengemudikan pesawat, kita dapat menjadi kudus dengan belajar bahasa selama kita melakukannya demi kemuliaan Allah.
Pastinya, banyak orang kudus yang merupakan poliglot. Izinkan saya menyebutkan dua yang menonjol. Yang pertama adalah St. Hieronimus (342–347) yang menerjemahkan Kitab Suci Vulgata. Yang kedua adalah Paus St. Yohanes Paulus II, yang fasih berbicara delapan bahasa.
Scott Hahn, ed., Catholic Bible Dictionary (New York: Doubleday, 2009), 86.
Hahn, ed., Catholic Bible Dictionary, 921.